Citizen Journalism dan Media Massa Saling melengkapi di Era Digital

Oleh admin

Dilihat 174

Diposting pada Selasa, 13 Agustus 2024

Jayapura, Rabu 7 Agustus 2024 - Mengambil bagian dalam jurnalisme warga adalah urgensi era digital di mana media sosial menjadi kekuatan viral. Semua orang langsung dan tidak langsung menjadi digital native, terllibat dalam penyebaran dan menerima informasi sekaligus membahas batasan dalam mengabarkan sebuah berita. 


Hal itu mengemuka dalam Forum Diskusi Publik Kunjungan Jurnalistik 2024 bertema Citizen Journalism untuk Generasi Muda di Papua Youth Creative Hub Jayapura, di Jayapura, Papua, pada Rabu (7/8).


Forum ini dihadiri setidaknya oleh 200 mahasiswa dan komunitas yang aktif di Jayapura juga menghadirkan narasumber dosen Universitas Cendrawasih Prof Dr Drs Avelinus Lefaan BA.MS, Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Anton Wahyu Prihartono, Kepala Biro Jakarta Pikiran Rakyat, Aldiro Syahrian, dan editor regional Kompas.com Teuku Muhammad Valdy Arief. 


Forum diskusi publik ini dimulai dari gagasan terkit media sosial dan upaya melawan hoaks. Anton Wahyu mengemukakan baik media sosial maupun media massa sama-sama terbentur dengan aturan, namun yang pasti harus berhati-hati. "Di media sosial, pengguna harus berhati-hati dalam menyebarkan informasi bukan asal cepat, sementara media massa dalam menyiarkan berita juga ada aturan yang harus dipenuhi misalnya tidak boleh menayangkan aktivitas merokok, korban perkosaan, dan visualisasi berdarah. Selain itu juga ada pedoman khusus menulis terkait tema tertentu seperti bunuh diri, terorisme, dan disabilitas. Di citizen journalism atau jurnalistik warga hal ini longgar tetapi batasannya adalah (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) UU ITE," kata dia. 


Meski terbentur dengan UU ITE, menurut Teuku Muhammad Valdy Arief media sosial justru banyak membantu dalam penyampaian masalah. Tugas jurnalistik wartawan sering lali terbantu mendapatkan informasi lebih cepat meskipun tidak melulu lengkap. "Seringkali standar kebutuhan menulis berita 5W+1H tidak lengkap dalam sebuah postingan media sosial, namun harus ada kerja sama yang baik, saling melengkapi informasi," katanya. 


Kerja sama yang baik antara pengguna media sosial dan media massa dibahas oleh Prof Dr Lefaan. Menurutnya media sosial terutama TikTok bisa menjadi media edukasi sekaligus evaluasi bahkan untuk diri sendiri. 


Masyarakat juga diminta untuk bijak bermedia sosial, "Harus jadi salah satu yang tidak menyebarkan hoaks karena efeknya luar biasa, bisa menyebabkan baku hantam, tertipu, rumah dibakar, ini yang tidak diharapkan, jangan jadi bagian penyebar hoaks," imbau Anton.


Memanfaatkan kekuatan media sosial

Sementara itu Aldiro justru menitikberatkan pada manfaat media sosial yang bisa dimaksimalkan untuk menggaungkan sebuah isu. "Bandung terutama, semakin dikenal menjadi kota yang kreativitasnya luar biasa, dengan media sosial kreativitas ini bisa dikenal lebih luas."


Kondisi jalan rusak di Lampung yang  viral karena Tiktoker, Bima Yudho menyebut jalan Dajjal juga mendapatkan respons yang positif dari pemerintah. "Ini adalah jurnalisme warga, masyarakat mendapatkan informasi meskipun mengkritik, setelah ramai di media sosial, Presiden Jokowi datang dan diperintahkan untuk pembangunan jalan, Jika tidak ada citizen journalism mengkin aspirasi ini tidak akan sampai ke pemerintah," tambah Anton.


Disiplin verifikasi dan validasi

Anton menambahkan jika selama ini dikenal dengan mulutmu harimaumu, di era digital ini masyarakat harus berhati-hati menggunakan jempol untuk mengunggah sesuatu di media sosial. "Bisa kena pasal pidana, sampaikan sesuatu yang positif. Saya kira di Papua banyak hal positif, terutama hal kreatif, saatnya kita menunjukkan melalui medsos."


Media sosial menurutnya bahkan bisa menjadi ancaman jika citizen journalism mampu melakukan disiplin verifikasi agar tidak memberi informasi yang salah. Namun hal itu ditepis oleh Valdy yang mengatakan hal ini bukan ancaman. "Saya tidak melihat ini ancaman, media harus memvalidasi informasi dengan cover both side. Sedangkan citizen journalism itu spontan, peristiwa, kini masanya mencari relevansi. Dulu media bisa bentuk opini, kini influencer yang bentuk opini. Nah justru harus saling melengkapi. Masukan dan kritik dari masyarakat perlu diperhatikan." ucapnya.


Meski demikian masyarakat juga dituntut untuk terus aktif mencari informasi dari sumber media massa arus utama. "Citizen journalism bisa menyiarkan apa saja, kapan saja, tanpa melakukan verifikasi. Itulah gunanya pembaca atau penonton tetap harus percaya pada media massa arus utama karena informasi yang diberikan telah melalui validasi dan verifikasi," kata Aldi. 


Bagi Prof Dr Lefaan, masyarakat sebaiknya menyederhanakan pikiran. Menurutnya media sosial harus bisa digunakan untuk memanusiakan manusia. "Media sosial mempercepat kita memecahkan masalah. Di sini media menjadi efisien, tapi harus memanusiakan manusianya. Semakin banyak masyarakat Papua bikin konten TikTok yang postif untuk kepentingan kita."


Citizen journalism adalah kesempatan untuk menggaungkan suara-suara muda dari Papua. Negara-bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam perspektif yang sangat ditentukan oleh suara-suara yang di ruang publik dan ruang digital yang sangat lantang. "Maka, menurut saya, jurnalisme warga adalah bukan sekedar persoalan melaporkan berita, melainkan juga meluaskan jangkauan, berbagi kisah dan narasi yang berdampak positif, dan memegang teguh pada kebenaran," kata Usman Kansong, Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam sambutannya.

0
0
0
0
9

Bagikan berita